Jumat, 31 Desember 2010

KEMBALINYA ANAKKU YANG HILANG


Fatamorgana itu membuat mataku mulai berair. Cuaca siang ini sangat menguras keringat. Kurasa hampir 40 derajat celsius kisaran cuaca hari ini. Itu bukanlah hal yang aneh di tanah melayu ini. Bayangkan saja jika di atas ada minyak sawit di bawahpun penuh dengan sumber minyak mentah, itulah julukan negeri kami yang kaya akan sumberdaya alamnya. Namun disayangkan kenapa orang-orang yang tinggal di dalamnya masih mau mengantri demi barang subsidi milik sendiri. Hampir di setiap sudut jalan ini begitu banyak ibu-ibu, anak kecil, hingga bahkan nenek-nenek yang dengan senyuman mereka tetap menyambut semua itu dengan lapang dada demi kelangsungan makan anak cucu mereka. Aku sebagai generasi bangsa cukup prihatin dengan kondisi ini, namun apa yang bisa kulakukan jika aku harus tetap sadar bahwa aku hanya rakyat biasa dan bukan seorang wakil rakyat. Cukup bantu Ibu mengangkat derejen minyak ke dapur rumah untuk bahan bakar sehari-hari. Biarlah hal ini menjadi urusan bangsa ini bukan urusanku. Saat ini bagiku cukup diam dan jangan banyak bicara, cari pekerjaan yang layak saja dan mulai mandiri.
Jajanan es di pinggir jalan sungguh menggugah rasa haus yang makin menggila. Kalau hanya sekedar dua gelas es kelapa muda, uang di dompetku masih cukup. Aku rasa Lila juga sama hausnya denganku. Aku menghentikan motor dan kami memesan dua gelas es kelapa muda. Dari tadi wajah Lila berlipat empat ditambah jeruk purut. Sejak pulang dari perusahaan yang kami datangi beberapa jam yang lalu itu nampaknya Lila tak ingin buka mulut. Tanpa bicara sepatah katapun ia terus memainkan handphonenya.
”Sudahlah Lil, masih banyak perusahaan yang bisa kita lamar?” Ucapku. Dia tetap saja diam sambil terus mengutak ngatik Hp-nya.
Rasa lelah di mata Lila sudah tergambar dengan jelas. Ia sepertinya sudah menyerah dengan kondisi ini. Menunggu hari-hari panggilan perusahaan yang dilamarnya. Kau tahu sudah berapa kali Lila memfotocopy ijazah dan sertifikat-sertifikat penghargaannya. Aku sudah tidak bisa menghitungnya dengan pasti.
Mencari pekerjaan di jaman sekarang sama dengan mencari tambang emas di padang pasir. Tidak semudah membalik telapak tangan. Kata Lila lebih sulit dari membuat tujuh skripsi, empat laporan praktikum dan dua ratus pertanyaan pak Khalik saat sidang tertutup. Kau tahu pak Khalik adalah dosen yang paling di takuti saat sidang tertutup. Jika kau lulus dan lewat dari pertanyaan-pertanyaannya maka kau sudah termasuk mahasiswa jempolan. Namun jika Lila terkategori mahasiswa lulusan jempolan, kenapa pekerjaan tak mampir dalam hari-harinya. Itu memang pertanyaan di luar kekuasaan Lila.
Sudah berapa kali wawancara yang di laluinya tanpa cacat. Namun takdir berkata lain. Lila lagi-lagi harus melewati harinya dengan status pengangguran. Begitu juga halnya aku. Sudah hampir enam bulan kami melewati hari-hari sebagai pengacara alias pengangguran banyak acara.
Secara IQ, Lila lebih dariku. Secara fisik Lila juga lebih cantik dariku. Seharusnya dia bisa cepat mendapat pekerjaan. Lila anak yang manis, tinggi lebih kurang seratus lima puluh sentimeter, berat badan empat puluh tujuh kilogram. Aku pikir tidak terlalu gemuk, walaupun agak sedikit pendek. Nah ini dia, kemungkinan tinggi badanlah yang selalu membuat Lila selalu di tolak.
Kata Ana, Jika ingin melamar pekerjaan disebuah bank maka tinggi, bentuk badan, dan nilai ijazah harus balance.
Lain kata Ana, lain lagi kata Budi, harus ada orang dalam karena lamaran biasanya numpuk. Namun, Kata Rina yang sudah bekerja di Bank setahun yang lalu syaratnya ngga ribet dan dia bisa lulus tanpa bantuan siapapun.
Uhh...Lila tambah lemas. Kepasrahan di wajahnya menunjukkan penantian yang tiada pasti. Pernah suatu hari Selfi menelponnya dan berkata bahwa Lila lebih cocok jadi PNS saja. Nah ini dia, yang membuat otak Lila pusing tujuh keliling. Lila tidak yakin akan lulus tanpa bantuan siapapun.
”Emangnya bapakku pejabat?” Itulah pertanyaan yang selalu di lontarkan Lila saat Selfi menawarinya sebagai PNS. Sedangkan kedua orangtuanya bekerja sebagai wiraswasta di daerah pasar kodim pekanbaru.
Kejadian hari ini sepertinya membuat batas kesabarannya habis. Barusan kami baru pulang dari salah satu perusahaan otomatif. Walaupun kami lulus dari jurusan berbasis kelautan dan perikanan, kami berharap dengan nilai yang tertera di transkip nilai kami, kami bisa mendapat pekerjaan walaupun jadi costumer servis. Dengan rasa percaya diri yang tinggi kami langsung menghadap HRD sesuai syarat yang tertulis di koran. Namun HRD tersebut langsung menolak lamaran Lila dikarenakan Lila memakai Jilbab. Spontan Lila merasa terhina. Hanya karena jilbab ia harus membawa lamarannya kembali tanpa diperiksa oleh HRD tersebut. Jujur saja aku juga sangat kecewa kenapa jilbab yang melekat di kepala Lila yang menjadi masalah utama sedangkan nilai yang tertera di transkip Lila jauh lebih penting dari hanya urusan jilbab yang melekat di kepala Lila. Walaupun lamaranku diterima oleh perusahaan itu, namun jika kejadiannya seperti barusan aku tidak bisa terima dan aku menarik lamaranku kembali. Aku rasa perusahaan itu bukan jodoh kami. Mungkin harus berusaha lebih keras.
Ada tawaran pekerjaan dari bang Wawan. Dia senior yang sekarang bekerja di salah satu LSM di Tanjungpinang. Kemarin siang dia menelpon dan mengajakku untuk bekerja di LSM yang dijalaninya. Hampir tiga tahun dia sudah bekerja disana. Akupun mencoba menawarkan kepada Lila. Namun ia menolaknya mentah-mentah. Katanya terlalu jauh dan beresiko.
Pekerjaan yang ditawarkan bang Wawan memang agak berat untuk seorang perempuan. Tapi yang namanya pekerjaan pasti punya resiko. Aku pikir menjadi fasilitator lapangan tidak terlalu menyedihkan. Fasilitator yang kumaksudkan adalah seperti penyuluh lapangan di daerah pesisir untuk mendampingi dan mengarahkan masyarakat dalam menjaga kelestarian terumbu karang yang berada di bawah bimbingan LSM dan bekerjasama dengan pemerintah.
Menyusahkan orang tua bukanlah tipeku. Aku malu meminta uang jajan pada Ibu terus-terusan. Bapak hanya seorang pegawai negeri lulusan SMU yang harus menghidupi sekolah adik-adikku. Sedangkan ibuku seorang pengajar sekolah menengah pertama yang gajinya sudah dipotong koperasi karena pinjaman untuk membiayai hidup keluarga dan uang sekolah kami.
Saat ini aku tidak menyoalkan masalah gaji yang penting aku cari pengalaman dan bisa mandiri. Tapi yang jadi persoalan besar adalah apakah Bapak dan Ibu akan memberi izin untuk berangkat ke negeri pantun tersebut. Walaupun aku pernah ke Tanjungpinang beberapa tahun yang lalu tapi jarak yang jauh memang akan menjadi pertimbangan yang besar bagi kedua orang tuaku. Aku selalu membujuk Lila agar mau ikut bersama ku, namun ia tetap bersekukuh tidak mau. Asal aku pergi dengan Lila pasti Bapak dan ibu akan dengan mudah melepas aku untuk pergi bersama.
Mau tidak mau aku harus bisa meyakinkan Bapak dan ibu bahwa aku akan baik-baik saja menjalani pekerjaan ini. Dan akhirnya aku mendapat restu mereka.

***

Aku berangkat dengan uang yang dibekalkan oleh Bapak. Aku yakin aku bisa menjalani semua ini. Akupun berangkat dengan dumai express dan sesampainya di pelabuhan Sri Indra Pura Tanjungpinang, bang Wawan sudah menungguku. Penampilannya masih sama seperti dulu saat ia datang ke rumah pada hari lebaran dua tahun yang lalu. Tetap dengan celana jeans perpaduan baju kaos plus rambut gondrong. Maklum gaya seniman memang agak sidikit urakan. Ia langsung mengajak ku untuk bertemu dengan ketua LSM dan mengenalkanku kepada teman-teman satu team.
LSM ini bergerak di bidang jasa dimana kami sebagai fasilitator bertugas sebagai pengarah dan pemberi informasi kepada masyarakat bagaimana cara menjaga terumbu karang supaya tetap terjaga kelestariannya, mengingat wacana global warming semakin meningkat. Pemahaman yang kuat dan mendasar memang dibutuhkan masyarakat pesisir untuk kelangsungan laut sebagai sumber mata pencaharian mereka dan selain itu juga fasilitator bertugas memberikatahukan betapa pentingnya konservasi terhadap ekosistem laut kalau masih mengharapkan mata pencaharian mereka kepada sumberdaya yang ada di dalamnya. Menurutku ini adalah tugas yang sangat mulia.
Awalnya memang agak berat. Aku yang biasa tinggal di keramaian sekarang harus bisa beradaptasi dengan komunitas baru yang sepi dan jauh dari teknologi. Tempatnya agak jauh dari pulau Bintan. Sekitar dua jam perjalanan dari Pulau Bintan jika naik speedboat. Aku memang di antar bang Wawan ke lokasi dan ditemani selama dua minggu. Dia banyak membimbing dan juga mengajariku bagaimana menghadapi pola hidup masyarakat kampung yang kini akan menjadi kampung ku juga. Kalau aku tidak mencoba mencintai masyakarat disini bagaimana bisa mereka bisa mencintaiku.
Aku tinggal disalah satu rumah warga yang katanya tidak perlu bayar alias gratis. Dulunya Bang Wawan juga tinggal di rumah Beliau. Namanya Pak Amir. Pekerjaan tetapnya adalah sebagai nelayan dan sampingannya adalah membuat sampan jika ada orang-orang mengorder pembuatan sampan padanya. Pak Amir selalu bilang bahwa hasil tangkapannya memang tidak sebanyak dulu. Sejak ada pengeboman dan pemakaian pukat harimau hasil tangkapan mereka makin hari makin menurun. Apalagi kalau musim utara sudah datang, mereka bahkan tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alat tangkap dan armada yang sangat sederhana mereka tetap memasrahkan hidup mereka pada alam. Sedangkan istri pak Amir yang bernama bu Siti bekerja sebagai ibu Rumah Tangga sambil membuka warung kecil-kecilan untuk kebutuhan sembako.
Sedikit demi sedikit aku mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Tinggal di pulau yang tidak ada listriknya, jauh dari sumber informasi dan jauh darimanapun juga. Pulau ini berhadapan langsung dengan laut lepas. Apalagi yang bisa dilakukan selain membaur dengan masyarakat setempat. Masyarakat menyambut baik atas kedatanganku. Penampilan bukanlah nomor satu lagi bagiku. Pekerjaan ini mulai menyatu dengan jiwaku. Setiap hari bermain dengan ombak, pasir putih dan suara masyarakat yang selama ini ingin ku dengar. Aku senang karena kami bisa berkomunikasi dengan baik, walaupun ada satu dua orang yang selalu tidak sepaham. Tapi inilah demokrasi. Kami sangat menghargai hal itu.
Aku hanya melanjutkan perjuangan bang Wawan untuk memajukan kampung dan pulau ini. Program pemerintah dalam memperbaharui perairan cukup disambut masyarakat dengan antusias. Bantuan pemerintah sedikit demi sedikit makin tergores di kampung ini. Kegiatan dalam rangka memelihara kelestarian terumbu karang adalah tugas yang tidak mudah. Kita harus selalu menyatu dengan pemikiran masyarakat yang banyak maunya. Siapa yang tidak ingin wilayahnya maju dan punya banyak fasilitas. Itulah tugas fasilitator dalam menyampaikan hal-hal semacam ini kepada masyarakat agar semua bisa berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Kegiatan ini sudah berjalan tiga tahun. Ini masuk tahun ke empat. Walaupun masyarakat telah sadar untuk tidak menangkap ikan dengan cara yang salah namun tetap masih ada sebagian kecil yang secara diam-diam menggunakan putas untuk menangkap hasil tangkapan mereka. Inilah tantangan pertamaku saat datang ke desa ini. Bagaimana menyadarkan mereka betapa pentingnya terumbu karang tetap tumbuh di dasar laut nan indah.
***

Waktu berlalu begitu cepat. Sudah hampir satu setengah tahun berlalu. Desa ini makin menyatu dengan hidupku. Sesekali aku menyempatkan diri untuk berjalan ke Tanjungpinang hitung-hitung refreshing. Hasil gaji yang kudapat selalu kusimpan dan separuhnya aku kirim ke Ibu untuk membantu biaya sekolah adik-adikku. Makin hari desa ini banyak kemajuan, masyarakatnya makin bisa memahami arti penting lestarinya lingkungan. Pak Amir dan warga lainnya sudah merasakan kembali indahnya terumbu karang yang mereka idamkan selama ini. Meski perlahan aku yakin lambat laun akan mendatangkan hasil yang lebih baik. Aku senang dengan hasil kerja keras mereka.
Pagi-pagi setelah sarapan pagi aku pamit pada pak Amir dan istrinya. Aku akan ke Tanjungpinang untuk menjemput Lila. Katanya ia ingin main-main ke tempatku. Aku heran kenapa Lila tiba-tiba main ke tempat kerjaku, mungkin dia kangen denganku. Aku juga tidak menepik bahwa merasakan rindu dengan sahabatku itu.
Tepat pukul dua belas siang ia tiba di bandara Raja Ali Haji Tanjungpinang. Ia banyak berubah, pipinya makin cabi saja. Yang membuat ku geli adalah kulitnya jauh lebih bening dibandingkan kulitku yang makin gelap. Sekeluarnya dari pintu bandara ia langsung memelukku erat.
”Apa kabar sobat?” Tanyaku.
”Seperti yang kau lihat! Aku tumbuh subur” Jawabnya sambil tertawa lepas.
”Kenapa tiba-tiba ingin main ke tempatku?” Tanyaku lagi. Kamipun melanjutkan obrolan di dalam taxi.
”Aku bosan di rumah terus. Tak satupun pekerjaan mau singgah di kulit ariku”
Aku spontan di buat tertawa geli.
”Kau akan membawaku kemana?” Tanya Lila
”Kita nginap di kantor saja. Nanti akan aku kenalkan pada teman-teman yang lain. Masih ingat bang Wawan kan?” Tanyaku.
”Pasti....yang gondrong itu ya?”
”Hmmmm....Dan aku siap jadi guite sehari penuh” Ku rasa aku harus mengenalkan Lila pada penyengat agar ia bisa betah tinggal disini.
Keesokannya Lila ku ajak langsung ke desa dimana aku bersemayam.
”Aku tidak membayangkan kau akan kerja di gulungan ombak sebesar ini” Ucapnya. Tidak ada yang bisa kuucapkan selain tersenyum padanya.
”Kau akan lihat, ketika kau melihat kampung itu pasti kau tak ingin pergi dari sana” Lanjutku.
”Apa sehebat itu?” Dia malah mengerutkan keningnya padaku seakan tak percaya.
”Jangan panggil namaku Elen jika kata-kataku tidak bisa kau pegang” Aku mencoba meyakinkan Lila.
”Tapi lautnya indah ya Len?” Ucapnya sambil menatap ke arah laut nan biru.
”Aku sangat menyukai alam disini Lil, Langitnya yang cerah, lautnya yang membiru. Kau tak akan ingat apapun kecuali menikmati indahnya alam di sini”
”Sepertinya kau sangat bahagia disini!” Ucapnya sambil merangkul bahuku. Kami menikmati perjalanan di speedboat.
Dua jam kemudian kami tiba di kampung yang selalu kuceritakan pada Lila. Mata Lila tak helak akan birunya air laut yang mengeluarkan sinar-sinarnya dari kejauhan. Seperti fatamorgana yang selalu kami lihat di negeri kami saat panas teriknya matahari yang membakar energi tubuh. Aku langsung mengenalkan Lila pada keluarga pak Amir. Sayangnya Pak Amir tidak dirumah. Kata bu Siti sejak tadi malam ia pergi bersama warga lainnya untuk melihat lokasi terumbu karang yang ada di sebelah timur pulau ini.
”Ada apa bu?” Tanyaku pada bu Siti.
”Ada yang mencoba melempar putas lagi” Jawab bu Siti dengan nada datar. Bu Siti menyuguhkan secangkir teh pada sahabatku itu.
Kejadian ini sudah ke empat kalinya. Hampir dua bulan ini warga memang agak resah dengan kejadian belakangan ini. Bagaimana mungkin laut yang mereka jaga dengan susah payah, orang yang tidak bertanggungjawab bisa merusaknya dengan sesuka hati. Aku langsung ke rumah kepala Desa untuk mengkonfirmasi kejadian tadi malam. Kebetulan pak Rahmat selaku Kepala Desa sedang tidak sibuk. Aku membawa Lila sambil melihat-lihat seisi kampung ini.
”Nanti akan kita rapatkan dengan warga lainnya. Mungkin kita perlu menyusun ulang tentang peraturan desa, Len! Apa sanksi yang bisa kita berikan pada pelanggar pengeboman seperti kejadian tadi malam”
”Saya sangat setuju itu pak” Pak Rahmat bercerita banyak tentang apa yang harus dilakukan warga.
”Sekarang bukan saatnya untuk diam. Semua harus bergerak jika memang laut dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab” Lanjut Pak Rahmat.
”Mungkin ketika orang Dinas datang melakukan monitoring kita bisa bertukar pendapat dengan mereka pak” Kilahku.
”Itu pasti akan kita sampaikan kepada mereka” Jawab pak Rahmat.
Hampir dua jam kami membahas masalah ini. Sepulang dari rumah pak Rahmat, aku mengajak Lila untuk mengelilingi pulau ini. Lila sepertinya senang berada disini. Walaupun hanya baru beberapa jam tapi aku bisa melihat aura wajahnya yang bersinar-sinar.
”Pantas saja kulit kau hitam, Len!” Aku lagi-lagi dibuat tidak bisa berkata-apa lagi. Aku hanya tersenyum ke arah Lila.
”Lautnya memang sungguh indah” Sambung Lila sambil terus melihat kearah laut yang membiru.
”Dari dulu aku sudah ingin mengajakmu kesini. Tapi kau selalu jual mahal” Lila tersenyum balik.
”Apa kau ingin menyelam?” Tanyaku. Lila agak kaget sambil menggelengkan kepalanya.
”Sudah lama aku tidak melakukan diving, Len! Aku agak takut”
”Setelah kau melihat alam di bawah laut sana kau akan tahu betapa cintamu pada laut ini makin bertambah” Lila tak berguman. Kami terdiam dan duduk dibawah rumah-rumahan pondok yang dibuat warga dari pohon kelapa dimana dindingnya juga terbuat dari pelepah daun kelapa. Suasana disini memang asyik dan menghilangkan ingatan kita pada duniawi.
”Kau tahu Lil, kita sedang makan angin!” Ucapku.
”Maksudmu?” Lila kebingungan ”Bukankah kita sudah barusan makan siang, mana mungkin kita makan angin?” Aku tertawa lebar.
”Warga disini menyebut bahwa duduk santai di tenda-tenda seperti ini dinamakan dengan istilah makan angin. Pertama kesini, aku juga bingung tapi ternyata makan angin siang-siang bolong nikmat juga” Lila tertawa.
”Len! Apa kau tidak ingin balik ke Pekanbaru? Mencari pekerjaan yang layak dari ini” Ucap Lila disela canda kami.
Sejenak aku terdiam. ”Sepertinya aku sudah menyatu dengan laut ini Lil. Suatu hari aku akan keluar dari kampung ini. Aku akan berangkat ke Bogor”
”Maksudnya?”
”Aku sedang menabung sedikit-demi sedikit Lil. Beberapa bulan lagi aku akan berangkat ke Bogor. Aku ingin melanjutkan pendidikan saja. Setelah aku tamat aku ingin kembali mengabdi di kampung ini”
”Hatimu sungguh tulus, Len!” Ledek Lila.
”Aku serius Lil. Laut disini adalah hidup warga. Dengan susah payah mereka menjaga laut mereka. Hasil tangkapan mereka yang selalu menurun tidak bisa dipungkiri kalau laut ini harus dipelihara. Bagi mereka, anak-anak ikan yang lahir adalah kehidupan mereka. Kata Pak Amir, dulu saja di bawah rumah bisa memancing ikan tanpa susah payah untuk turun ke laut. Namun sejak ada pengeboman jangankan untuk mamancing ikan di bawah rumah lagi, mencari ikan di tengah lautpun sudah susah. Ini sangat memprihatinkan bagiku dan mereka selalu berharap anak-anak ikan itu kembali lagi seperti dulu”
”Aku sungguh bangga punya teman seperti kau, Len! Meski aku sendiri tidak bisa menjalani hidup sepertimu, tapi aku yakin ini tidak semudah yang aku bayangkan” Lila merangkul bahuku. Dia tersenyum.
”Kawan! Sampai kapan kita akan begini? Bagaimana kalau kita berangkat bareng ke Bogor?” Tanyanya.
”Maksudnya?”
”Dia mengeluarkan sebuah amplop coklat dari tas kecil yang disandang dibahunya” Dan dia memberikannya padaku.
”Surat apa ini Lil?” Tanyaku
”Buka saja” Ucapnya datar.
Aku sungguh tidak mengerti dengan maksud perkataan Lila. Dia terus menyuruhku membuka surat itu. Perlahan aku buka isinya dan didalamnya ada sebuah lembaran kertas putih ukuran A4 dimana tertera ada namaku tertulis dikertas tersebut. Diatasnya tertulis logo sebuah universitas yang pernah ku lamar. Disana juga ada deretan nama Lila sahabatku. Spontan aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain bersorak girang dan memeluk Lila yang ada disebelaku.
”Aku bosan jadi pengangguran. Aku melanjutkan pendidikan saja. Kebetulan aku lihat ada namamu juga di internet. Makanya aku kesini” Ucap Lila. Senyum di bibir Lila sungguh menyejukkan hatiku. Kami akan berangkat bersama.

***

Puas mengelilingi pulau ini kami pulang ke rumah. Hari sudah hampir magrib. Kami habiskan waktu-waktu itu untuk bercerita tentang angan-angan masa depan kami nantinya. Pak Amir dengan antusias menceritakan secara kronologis kejadian tadi malam. Sepertinya kesabarannya sudah mulai habis. Pak Amir dikenal sebagai salah satu orang nomor satu dalam program pelestarian terumbu karang di kampung ini. Dari awal dia tahu bagaimana susahnya untuk mengajak warga kampung ini agar bisa sadar akan lingkungannya dan akhirnya inilah kampung dengan laut mereka yang indah dan terpelihara. Beberapa waktu lalu sekelompok turis sempat berkunjung ke sini. Ini menandakan bahwa laut dan alam dibawahnya mulai diminati oleh orang asing yang haus akan hiburan alam.
Beberapa program pemerintah akan disejalankan dengan keinginan warga dimana kampung ini merupakan salah satu icon untuk pariwasata berbasis ekologi di Pulau Bintan ini untuk kedepannya. Inilah keinginan besar pak Amir dan warga lainnya. Jika orang luar sudah mulai tertarik maka masyarakat setempat akan mendapat penghasilan dari jasa pelayanan yang mereka berikan pada turis yang datang. Pak Amir tak pernah surut dengan niatnya ini. Sepertinya kejadian tadi malam membuatnya hilang kesabaran.
Aku tahu pasti apa yang dirasakan pak Amir. Kali ini aku tak ingin banyak bicara lagi. Biarlah warga dan peraturan desa mereka yang bertindak. Sebentar lagi aku juga akan hengkang dari kampung ini. Sebelum aku berangkat ke Bogor aku ingin pulang dulu ke Pekanbaru menemui orang tuaku dan mempersiapkan administrasi. Ternyata kedatangan Lila adalah untuk menjemputku. Batas waktu daftar ulang yang tertulis di surat yang disodorkan Lila menyatakan bahwa hanya tinggal sebulan lagi, aku tidak menyangka akan secepat ini. Walaupun uang tabunganku cukup untuk biaya awal kuliah tapi aku harus mengurus beasiswa. Terkadang hidup juga harus nekad jika ingin berhasil.
Haruskah ku katakan hal ini pada pak Amir disaat begini. Hal ini tidak mungkin. Bu Siti pasti sedih. Aku sudah dianggap seperti anak sendiri. Aku minta Lila untuk pulang duluan dan aku menyusul setelah masalah pengeboman dan fasilitator yang baru bisa menggantikan aku. Mau tidak mau aku aku harus minta bantuan bang Wawan untuk mencarikan penggantinya. Hal ini bukanlah pekerjaan yang sulit bagi Wawan. Dalam waktu seminggu aku sudah bisa angkat kaki dari pulau ini. Perpisahan dengan warga membuatku sedih. Aku tidak tahu lagi akan kembali kedesa ini. Aku berharap suatu hari nanti aku bisa kembali ke desa ini lagi.
Selang berganti tahun. Waktu berputar begitu cepat memang. Kejadian-kejadian di kampung pak Amir tak akan hilang dari ingatanku. Sekarang aku sudah diwisuda dan aku sudah mendapat gelar masterku. Sebelum aku pulang ke Pekanbaru aku ingin bertemu dengan bu Siti. Tiga bulan yang lalu pak Amir dikabarkan meninggal dunia karena sakit jantung. Dari dulu pak Amir memang sudah agak sakit-sakitan, tapi dia tetap tidak mau ke dokter. Bersama Bang Wawan aku memutari kampung ini. Melihat anak-anak bermain bola dipasirnya yang putih membuat suasana hatiku menjadi riang. Derai ombak pantai yang mengalir mengejar bumi dan paparan lautnya yang mengeluarkan butiran intan-intan yang mendamaikan hati. Melihat balai desa, tempat dimana biasanya kami mengadakan rapat, debat dan rencana masa depan kampung ini membuat rinduku terobati. Aku sungguh rindu dengan keindahan kampung ini. Ku lihat beberapa orang sedang memancing ikan di dekat rumahnya. Itu tandanya anak-anak ikan yang mereka dambakan telah kembali seperti impian pak Amir. Impian dimana masa depan laut ini untuk kelangsungan anak cucu mereka. Bang Wawan tak menampik hal itu. Kerja keras bang Wawan memang perlu diberi empat jempol. Walaupun tak banyak yang bisa kuberikan untuk desa ini tapi aku berharap desa ini akan begini terus selamanya sampai aku kembali lain hari.
Selengkapnya...